Suatu hari di minggu terakhir bulan Ramadhan. Budayanya adalah dapur setiap rumah akan benar-benar hidup. Dengan bunyi mixer terngiang, adonan berlelehan dilantai, aroma coklat yg menguar di udara. loyang-loyang kembali mengkilat, telapak tangan lengket, dan semua aroma kue-kue menyebar keseluruh isi rumah. Begitupun, ia... wajah polos tak sabaran itu memutar-mutar mixer yg tampak sedikit macet. Ia memarahi alat itu tanpa puas. Seseorang ia panggil untuk membantu.
Ia mulai menyerah, menyuruh orang itu keluar dengan benda yg ia anggap sudah tak berguna.
Aku hanya terus memasukkan sedikit selai nanas yg dingin dan mengeras kedalam adonan yg sudah ia bentuk tak keruan. Tapi biarlah, ia hanya bocah yg ingin ikut berpesta di dapurnya sendiri. Seperti orang-orang dengan dapur mereka masing-masing.
“Memangnya kenapa? Mixer itu?” Aku hanya penasaran tanpa sedikitpun ingin terlibat.
Muka kesalnya masih tarlihat tanpa kulirik.
“Entahlah, ada yg mengganjal” lalu bunyi desahan muncul, pekikan tertahan. Sampai ia melanjutkan
“Pengen nangis rasanya”. Itu terlihat tanpa ia katakan. Aku pikir dia memang sudah menangis.
Aku mempercepat tangan ku, terus menusukkan selai nanas. Asal-asalan sama seperti bentuk adonannya. Tiba-tiba orang diluar dapur berkata
“Bisa. Nih, udah bisa”. Bunyi kretak-kretak sudah berhenti. Orang itu masuk, dan memberikan mixernya.
“Bisa? Kenapa? Ada yg mengganjal?!” terdengar sangat lega ia terus bertanya setengah berteriak kegirangan.
Tapi orang itu tak memberikan penjelasan apapun, hanya pergi.
Tidak sopan. Aku pikir kenapa orang itu tidak menjawab satu saja pertanyaan yg dilontarka ibunya. Ah, mungkin orang itu juga sama seperti ku. Hanya penonton yg tak mau terlibat pertunjukan. Karna sama-sama tahu akibatnya. Jika kami ikut campur.
Sambil terus memberi selai, aku mulai memikirkan tingkahnya. Yg semakin aku yakini, memang layaknya anak kecil. Dan aku pun tahu bahwa aku harus bisa membahagiakannya. Dengan caraku, untuk ibuku.