Wednesday, September 18, 2013

Berkat Etra



Terlarut dalam kisah Elektra, tokoh utama dalam seri ketiga Supernova: PETIR. Membuatku perlahan menyadari akan diriku di pekerjaan yang sedang aku jalani. Baik masa kuliah, SMA atau lebih kebelakang lagi SD. Aku tak pernah bermimpi menjadi seorang pedagang. Meski masa kecilku bisa hidup nikmat berkat penghasilan seorang ayah yang adalah pedagang. Aku dan ketiga kakak-kakak ku (meski kami belum pernah membicarakannya, tapi aku yakini) tidak pernah punya cita-cita jadi seorang PEDAGANG. Yang kami tahu hanya cara menghabiskan uang jajan dan membujuk orang tua kami untuk memberikan uang lagi jika yang di tangan sudah tak ada sisa. Ah, masa lalu yang aduhai. Tapi itu salah dan benar-benar salah, karena sekarang ketika kami sudah menjadi manusia yang katanya dewasa menjadi malas dan enggan keluar dari rumah beruang kami. Kami hanya ingin mengahabiskan hidup dengan tidur dan menjilati madu. Entah siapa yang salah, bukanlah ibu mengandung. Kembali ke topik utama setelah lulus kuliah S1 aku terjebak hampir satu tahun menjalani karir sebagai seorang PEDAGANG. Bagai mimpi buruk di tengah tidur siang seorang Lilih kelas lima SD yang kelelahan sehabis main layangan di sawah bapak. 

Memang bukan pedagang seperti bapak dulu. mungkin ini lebih bergengsi dan lebih memasa kini.
Yakni berjualan asuransi. Tidak perlu berjejal kardus-kardus mie, berbelit tali rapia, dan repot-repot bayar uang keamanan di pasar. Aku ditempatkan dalam kantor yang luas, ber-AC, bersih, harum dan 24 jam di jagai satpam. Sementara kios bapak dulu adalah sepetak ruangan bertumpuk barang dari mulai perlengkapan mandi, kue-kue, segala jajanan anak kampung di warung-warung samping rumah, minuman-minuman manis, rokok, semua berbaris, bertumpuk, menggantung. di rak, di lantai, di teras, ditata serampangan asal terlihat dan terjual. Dibandingkan dengan meja kerjaku dilantai dua terbuat dari kayu entah apa yang mulus tanpa coretan dan berwarna krem. Dilengkapi seperangkat komputer, kartu nama, dan kalender duduk yang kusimpan di sudut meja. Meja kerja bapak di pasar merangkap meja kasir yang bahkan bukan betulan meja tapi rak kaca tempat ia memajang obat-obatan dan rokok di deratan paling atas, dia yang mengatur segala hilir mudik kegiatan di kios mungilnya dari pukul tujuh kurang hingga pukul lima sore. Bapak bak supervisor, manager, kasir, sekaligus CEO di sepitak ruangan dengan penerangan seadanya. Aku ingat betul, jika keluar dari kiosnya, sehabis minta jatah bulanan untuk keperluan rumah aku merasa keluar dari goa. Mataku harus beradaptasi setelah lama dipaksa terbelalak dengan lampu temaram lalu terkesiap memicing karena cahaya mentari terang benderang di luar sana. 

Bapak adalah aktor utama di dunia kerjanya. Bos yang menggaji para karyawan, ada mang aep si juru pak kardus. Keahliannya mengepak adalah hasil persistensinya melakoni profesi itu selama bertahun-tahun. Mang aep akrab dengan tali rapia dan kardus. Dan amang yang lain tak dapat lagi kuingat. Di kantor yang bersih nan wangi juga terang benderang cahaya lampu meski sinar matahari masih bisa diandalkan, aku hanya seorang penonton. Tanpa tahu setiap harinya musti melakukan apa, selesai ritual yang mereka sebut sebagai morning briefing berisi acara tanya sana sini “apa ada yang ingin disampaikan?” lalu berakhir dengan yel-yel pembakar semangat kerja. Semua orang berbalik menuju meja masing-masing duduk disana dengan pasti tahu akan pekerjaan yang sedang menunggu dan menghabiskan waktu mereka hingga tutup kantor. Seperti mang aep yang tahu job desk nya adalah mengepak barang. Tapi aku hanya jadi penonton, si beruang madu buncit yang terlalu malas untuk bergerak. Saat yang lain lincah melayani nasabah. Aku hanya mulai memegang mouse klik sana sini memasang tampang serius supaya terlihat sibuk. Bukankah aku seharusnya berjualan?. Sepertinya harus kuperjelas di sini. Aku tak punya minat berjualan dan merasa tak ada bakat menawar-nawarkan barang dagangan.

Sebulan dua bulan mungkin ini terasa aman, sebagai anak baru yang cuma makan gaji buta dianggap wajar karena masih perlu adaptasi. Tapi dibulan ke delapan, bos ku mulai jengah. Apa aku yang tidak bisa menyumbangkan angka-angka produksi yang berarti keuntungan bagi perusahan (baca dirinya sendiri). Ia memanggilku ke sebuah ruangan, lalu menutup pintu kaku putih di sudut sana sebuah gerakan yang tak perlu karena jika alasannya menutup pintu agar pembicaraan kami tak terdengar siapapun di luar sana itu sudah terlalu terlambat. Hari itu jam delapan malam semua orang sudah dalam perjalanan pulang. Bersisa kami berdua tanpa bunyi jarum jam. Inti dari pembicaraan itu adalah dia mengusirku. Selesai. Tapi hidup memang penuh kejutan, sebulan kemudian siapa sangka aku yang kerjanya malas-malas berharap rezeki turun dari langit ini tiba-tiba didatangi konsumen yang mau beli daganganku dengan harga lumayan fantastis. Maka pengusiran itu urung terjadi. Aku kembali bisa mendengkur disinggasana ber-AC. Kedinginan.

Pekerjaan macam ini tak bisa diprediksi kapan aku sibuk atau hanya corat-coret catatan tak penting sepanjang hari. Hari ini bisa saja aku berjualan sampai suara serak, panas-panasan turun naik angkot demi kejar setoran tapi besoknya tetap kena semprot atasan karena tak becus. Jujur, aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk diriku sendiri, sampai bosan terlalu banyak diam. Sudah kubilang aku hanya penonton, jadi jangan tanya tentang rapat-rapat pemimpin , gosip-gosip tentang pegawai, kebijakan dan aturan baru dalam bisnis jual beli ini atau cerita sukses rekan kerja hingga kebusukan didalamnya. Aku tak peduli. Aku hanya ingin nyaman tak terlihat tapi hidup. Jika siapapun bertanya kenapa aku mau bekerja dengan cara licik seperti ini akan kujawab dengan tangkas “it’s not my passion”. Lama-lama jawaban itu terdengar idealis dan lucu. Apa sebenarnya yang kubisa jika berjualan nilai ku 0 besar. Apa ada pekerjaan yang bisa meng upgrade nilaiku jadi 100?. Aku pun tak tahu. Betapa malasnya aku ini.   

Ingin rasanya tidak terperangkap dalam satu rutinitas menjemukan, melakukan hal yang itu-itu saja sepanjang waktu. Aku ingin sesuatu yang bebas dan penuh hal baru, tantangan dan tempat-tempat indah. Tapi apa aku mampu?. Kembali pertanyaan yang hanya bisa kujawab tak pasti. Yang pasti pasti hanya tak ingin seperti Ibu Sati yang hidup bergemul toko klenik, lalu meditasi, bersih-bersih dan terus konstan sirkular seperti itu. Saat pertanyaan Etra mewakili pertanyaanku: tidakkah ia merasa bosan? Bakalkah ia bosan?. 

Lalu Ibu sati bertutur mengenai bagaimana petir terjadi di langit. Apa hubungannya dengan pekerjaan?. Mari kita lihat.
……Panas bumi membuat udara di permukaan jadi panas, dan udara panas ini bergerak naik… teruus, teruus, mereka berkelompok di sekitar udara yang lebih dingin, sampai terbentuklah kumulonimbus, yang di dalamnya ion positif-negatif bergumul, bergumul. Jadi kekuatan listrik yang besar, kemudian BUM!. ……. Jadi, petir terjadi ketika bumi dan langit ingin menyamakan persepsi. Kalau kamu mendengar bunyi Guntur di luar sana, artinya ada konflik sedang berusaha diselesaikan. 70-100 kilatan setiap detiknya di seluruh Bumi, bayangkan. Alam tidak pernah berhenti membersihkan dirinya. Dan kalau kamu sadar bahwa kita sepenuhnya bercermin pada alam, kamu bisa lebih mengenali diri kamu sendiri. Setiap orang punya potensi dalam dirinya, Elektra. Setiap orang sudah memilih peran uniknya masing-masing sebelum mereka terlahirkan ke dunia. Tapi, setiap orang juga dibuat lupa terlebih dulu. Itulah rahasia besar hidup. Nah, alangkah indahnya, kalau kita bisa mengingat pilihan kita secepat mungkin, lalu hidup bagai hujan. Turun, menguap, ada. Tanpa beban apa-apa. 

Begitulah Ibu Sati yang panas tubuhnya senantiasa ia dinginkan seperti hujan yang membasuh wajah Bumi. Dan semua itu dilakukannya dengan penuh bakti layaknya sebuah panggilan, bukan beban. 

Aku jadi teringat sanak saudara di kampung, bukankah mereka tak ada beda dengan Ibu Sati? Bahkan tukang becak, pemulung yang seumur hidup mereka dihabiskan dengan melakukan rutinitas yang hampir sama tak ada beda. Tak ada keinginan travelling keliling Indonesia, apalagi menikmati keindahan Eropa, cita-cita tertinggi mereka ke luar negeri hanya ke Mekkah. Naik haji, tak lebih. Sementara aku terus tersiksa dengan harapan akan bisa ke Malang, Yogya, Bali, London, Tokyo, Seoul, dan tempat-tempat eksotis lainnya di penjuru bumi. 

Aku merasa belum terpanggil.masih berusaha mencari celah agar potensi dan peranku di Bumi terkuak ke permukaan, lalu hidup bagai hujan. maka peranku sebagai pedagang adalah jalan awal menuju sana, semoga.


No comments:

Post a Comment