Terlarut
dalam kisah Elektra, tokoh utama dalam seri ketiga Supernova: PETIR. Membuatku
perlahan menyadari akan diriku di pekerjaan yang sedang
aku jalani. Baik masa kuliah, SMA atau lebih kebelakang lagi SD. Aku tak pernah
bermimpi menjadi seorang pedagang. Meski masa kecilku bisa hidup nikmat berkat
penghasilan seorang ayah yang adalah pedagang. Aku dan ketiga kakak-kakak ku
(meski kami belum pernah membicarakannya, tapi aku yakini) tidak pernah punya
cita-cita jadi seorang PEDAGANG. Yang kami tahu hanya cara menghabiskan uang
jajan dan membujuk orang tua kami untuk memberikan uang lagi jika yang di
tangan sudah tak ada sisa. Ah, masa lalu yang aduhai. Tapi itu salah dan
benar-benar salah, karena sekarang ketika kami sudah menjadi manusia yang
katanya dewasa menjadi malas dan enggan keluar dari rumah beruang kami. Kami
hanya ingin mengahabiskan hidup dengan tidur dan menjilati madu. Entah siapa
yang salah, bukanlah ibu mengandung. Kembali ke topik utama setelah lulus kuliah S1 aku terjebak hampir satu tahun menjalani
karir sebagai seorang PEDAGANG. Bagai mimpi buruk di tengah tidur siang seorang
Lilih kelas lima SD yang kelelahan sehabis main layangan di sawah bapak.
Memang
bukan pedagang seperti bapak dulu. mungkin ini lebih bergengsi dan lebih memasa
kini.
Yakni berjualan asuransi. Tidak perlu berjejal kardus-kardus mie, berbelit tali rapia, dan repot-repot bayar uang keamanan di pasar. Aku ditempatkan dalam kantor yang luas, ber-AC, bersih, harum dan 24 jam di jagai satpam. Sementara kios bapak dulu adalah sepetak ruangan bertumpuk barang dari mulai perlengkapan mandi, kue-kue, segala jajanan anak kampung di warung-warung samping rumah, minuman-minuman manis, rokok, semua berbaris, bertumpuk, menggantung. di rak, di lantai, di teras, ditata serampangan asal terlihat dan terjual. Dibandingkan dengan meja kerjaku dilantai dua terbuat dari kayu entah apa yang mulus tanpa coretan dan berwarna krem. Dilengkapi seperangkat komputer, kartu nama, dan kalender duduk yang kusimpan di sudut meja. Meja kerja bapak di pasar merangkap meja kasir yang bahkan bukan betulan meja tapi rak kaca tempat ia memajang obat-obatan dan rokok di deratan paling atas, dia yang mengatur segala hilir mudik kegiatan di kios mungilnya dari pukul tujuh kurang hingga pukul lima sore. Bapak bak supervisor, manager, kasir, sekaligus CEO di sepitak ruangan dengan penerangan seadanya. Aku ingat betul, jika keluar dari kiosnya, sehabis minta jatah bulanan untuk keperluan rumah aku merasa keluar dari goa. Mataku harus beradaptasi setelah lama dipaksa terbelalak dengan lampu temaram lalu terkesiap memicing karena cahaya mentari terang benderang di luar sana.
Bapak adalah aktor utama di dunia kerjanya. Bos yang menggaji para karyawan, ada mang aep si juru pak kardus. Keahliannya mengepak adalah hasil persistensinya melakoni profesi itu selama bertahun-tahun. Mang aep akrab dengan tali rapia dan kardus. Dan amang yang lain tak dapat lagi kuingat. Di kantor yang bersih nan wangi juga terang benderang cahaya lampu meski sinar matahari masih bisa diandalkan, aku hanya seorang penonton. Tanpa tahu setiap harinya musti melakukan apa, selesai ritual yang mereka sebut sebagai morning briefing berisi acara tanya sana sini “apa ada yang ingin disampaikan?” lalu berakhir dengan yel-yel pembakar semangat kerja. Semua orang berbalik menuju meja masing-masing duduk disana dengan pasti tahu akan pekerjaan yang sedang menunggu dan menghabiskan waktu mereka hingga tutup kantor. Seperti mang aep yang tahu job desk nya adalah mengepak barang. Tapi aku hanya jadi penonton, si beruang madu buncit yang terlalu malas untuk bergerak. Saat yang lain lincah melayani nasabah. Aku hanya mulai memegang mouse klik sana sini memasang tampang serius supaya terlihat sibuk. Bukankah aku seharusnya berjualan?. Sepertinya harus kuperjelas di sini. Aku tak punya minat berjualan dan merasa tak ada bakat menawar-nawarkan barang dagangan.
Yakni berjualan asuransi. Tidak perlu berjejal kardus-kardus mie, berbelit tali rapia, dan repot-repot bayar uang keamanan di pasar. Aku ditempatkan dalam kantor yang luas, ber-AC, bersih, harum dan 24 jam di jagai satpam. Sementara kios bapak dulu adalah sepetak ruangan bertumpuk barang dari mulai perlengkapan mandi, kue-kue, segala jajanan anak kampung di warung-warung samping rumah, minuman-minuman manis, rokok, semua berbaris, bertumpuk, menggantung. di rak, di lantai, di teras, ditata serampangan asal terlihat dan terjual. Dibandingkan dengan meja kerjaku dilantai dua terbuat dari kayu entah apa yang mulus tanpa coretan dan berwarna krem. Dilengkapi seperangkat komputer, kartu nama, dan kalender duduk yang kusimpan di sudut meja. Meja kerja bapak di pasar merangkap meja kasir yang bahkan bukan betulan meja tapi rak kaca tempat ia memajang obat-obatan dan rokok di deratan paling atas, dia yang mengatur segala hilir mudik kegiatan di kios mungilnya dari pukul tujuh kurang hingga pukul lima sore. Bapak bak supervisor, manager, kasir, sekaligus CEO di sepitak ruangan dengan penerangan seadanya. Aku ingat betul, jika keluar dari kiosnya, sehabis minta jatah bulanan untuk keperluan rumah aku merasa keluar dari goa. Mataku harus beradaptasi setelah lama dipaksa terbelalak dengan lampu temaram lalu terkesiap memicing karena cahaya mentari terang benderang di luar sana.
Bapak adalah aktor utama di dunia kerjanya. Bos yang menggaji para karyawan, ada mang aep si juru pak kardus. Keahliannya mengepak adalah hasil persistensinya melakoni profesi itu selama bertahun-tahun. Mang aep akrab dengan tali rapia dan kardus. Dan amang yang lain tak dapat lagi kuingat. Di kantor yang bersih nan wangi juga terang benderang cahaya lampu meski sinar matahari masih bisa diandalkan, aku hanya seorang penonton. Tanpa tahu setiap harinya musti melakukan apa, selesai ritual yang mereka sebut sebagai morning briefing berisi acara tanya sana sini “apa ada yang ingin disampaikan?” lalu berakhir dengan yel-yel pembakar semangat kerja. Semua orang berbalik menuju meja masing-masing duduk disana dengan pasti tahu akan pekerjaan yang sedang menunggu dan menghabiskan waktu mereka hingga tutup kantor. Seperti mang aep yang tahu job desk nya adalah mengepak barang. Tapi aku hanya jadi penonton, si beruang madu buncit yang terlalu malas untuk bergerak. Saat yang lain lincah melayani nasabah. Aku hanya mulai memegang mouse klik sana sini memasang tampang serius supaya terlihat sibuk. Bukankah aku seharusnya berjualan?. Sepertinya harus kuperjelas di sini. Aku tak punya minat berjualan dan merasa tak ada bakat menawar-nawarkan barang dagangan.
Sebulan
dua bulan mungkin ini terasa aman, sebagai anak baru yang cuma makan gaji buta
dianggap wajar karena masih perlu adaptasi. Tapi dibulan ke delapan, bos ku
mulai jengah. Apa aku yang tidak bisa menyumbangkan angka-angka produksi yang
berarti keuntungan bagi perusahan (baca dirinya sendiri). Ia
memanggilku ke sebuah ruangan, lalu menutup pintu kaku putih di sudut sana
sebuah gerakan yang tak perlu karena jika alasannya menutup pintu agar
pembicaraan kami tak terdengar siapapun di luar sana itu sudah terlalu terlambat.
Hari itu jam delapan malam semua orang sudah dalam perjalanan pulang. Bersisa kami
berdua tanpa bunyi jarum jam. Inti dari pembicaraan itu adalah dia mengusirku. Selesai.
Tapi hidup memang penuh kejutan, sebulan kemudian siapa sangka aku yang
kerjanya malas-malas berharap rezeki turun dari langit ini tiba-tiba didatangi
konsumen yang mau beli daganganku dengan harga lumayan fantastis. Maka pengusiran
itu urung terjadi. Aku kembali bisa mendengkur disinggasana ber-AC. Kedinginan.
Pekerjaan macam ini tak bisa diprediksi kapan
aku sibuk atau hanya corat-coret catatan tak penting sepanjang hari. Hari ini
bisa saja aku berjualan sampai suara serak, panas-panasan turun naik angkot
demi kejar setoran tapi besoknya tetap kena semprot atasan karena tak becus. Jujur,
aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk diriku sendiri, sampai bosan terlalu
banyak diam. Sudah kubilang aku hanya penonton, jadi jangan tanya tentang
rapat-rapat pemimpin , gosip-gosip tentang pegawai, kebijakan dan aturan baru
dalam bisnis jual beli ini atau cerita sukses rekan kerja hingga kebusukan
didalamnya. Aku tak peduli. Aku hanya ingin nyaman tak terlihat tapi hidup. Jika
siapapun bertanya kenapa aku mau bekerja dengan cara licik seperti ini akan
kujawab dengan tangkas “it’s not my passion”. Lama-lama jawaban itu terdengar
idealis dan lucu. Apa sebenarnya yang kubisa jika berjualan nilai ku 0 besar. Apa
ada pekerjaan yang bisa meng upgrade nilaiku jadi 100?. Aku pun tak tahu. Betapa
malasnya aku ini.
Ingin rasanya tidak terperangkap dalam satu rutinitas menjemukan, melakukan hal yang itu-itu saja sepanjang waktu. Aku ingin sesuatu yang bebas dan penuh hal baru, tantangan dan tempat-tempat indah. Tapi apa aku mampu?. Kembali pertanyaan yang hanya bisa kujawab tak pasti. Yang pasti pasti hanya tak ingin seperti Ibu Sati yang hidup bergemul toko klenik, lalu meditasi, bersih-bersih dan terus konstan sirkular seperti itu. Saat pertanyaan Etra mewakili pertanyaanku: tidakkah ia merasa bosan? Bakalkah ia bosan?.
Ingin rasanya tidak terperangkap dalam satu rutinitas menjemukan, melakukan hal yang itu-itu saja sepanjang waktu. Aku ingin sesuatu yang bebas dan penuh hal baru, tantangan dan tempat-tempat indah. Tapi apa aku mampu?. Kembali pertanyaan yang hanya bisa kujawab tak pasti. Yang pasti pasti hanya tak ingin seperti Ibu Sati yang hidup bergemul toko klenik, lalu meditasi, bersih-bersih dan terus konstan sirkular seperti itu. Saat pertanyaan Etra mewakili pertanyaanku: tidakkah ia merasa bosan? Bakalkah ia bosan?.
Lalu Ibu sati bertutur mengenai bagaimana petir
terjadi di langit. Apa hubungannya dengan pekerjaan?. Mari kita lihat.
……Panas bumi membuat udara di permukaan jadi
panas, dan udara panas ini bergerak naik… teruus, teruus, mereka berkelompok di
sekitar udara yang lebih dingin, sampai terbentuklah kumulonimbus, yang di
dalamnya ion positif-negatif bergumul, bergumul. Jadi kekuatan listrik yang
besar, kemudian BUM!. ……. Jadi, petir terjadi ketika bumi dan langit ingin
menyamakan persepsi. Kalau kamu mendengar bunyi Guntur di luar sana, artinya
ada konflik sedang berusaha diselesaikan. 70-100 kilatan setiap detiknya di
seluruh Bumi, bayangkan. Alam tidak pernah berhenti membersihkan dirinya. Dan kalau
kamu sadar bahwa kita sepenuhnya bercermin pada alam, kamu bisa lebih mengenali
diri kamu sendiri. Setiap orang punya potensi dalam dirinya, Elektra. Setiap orang
sudah memilih peran uniknya masing-masing sebelum mereka terlahirkan ke dunia. Tapi,
setiap orang juga dibuat lupa terlebih dulu. Itulah rahasia besar hidup. Nah,
alangkah indahnya, kalau kita bisa mengingat pilihan kita secepat mungkin, lalu
hidup bagai hujan. Turun, menguap, ada. Tanpa beban apa-apa.
Begitulah Ibu Sati yang panas tubuhnya
senantiasa ia dinginkan seperti hujan yang membasuh wajah Bumi. Dan semua itu
dilakukannya dengan penuh bakti layaknya sebuah panggilan, bukan beban.
Aku jadi teringat sanak saudara di kampung,
bukankah mereka tak ada beda dengan Ibu Sati? Bahkan tukang becak, pemulung
yang seumur hidup mereka dihabiskan dengan melakukan rutinitas yang hampir sama
tak ada beda. Tak ada keinginan travelling keliling Indonesia, apalagi
menikmati keindahan Eropa, cita-cita tertinggi mereka ke luar negeri hanya ke
Mekkah. Naik haji, tak lebih. Sementara aku terus tersiksa dengan harapan akan
bisa ke Malang, Yogya, Bali, London, Tokyo, Seoul, dan tempat-tempat eksotis
lainnya di penjuru bumi.
Aku merasa belum terpanggil.masih berusaha mencari celah agar potensi dan peranku di Bumi terkuak ke permukaan, lalu hidup bagai hujan. maka peranku sebagai pedagang adalah jalan awal menuju sana, semoga.
No comments:
Post a Comment