Aku merasa ibuku hidup dibalik sisa-sisa masa kejayaannya. Yah, aku menyebutnya seperti itu karena kini, bagiku dia seperti anak kecil. Yg bisa menangis kapan pun saat apa yg dia inginkan tak bisa ia dapatkan. Dulu ia sering sekali mengeluh tentang orang-orang yg selama ayah ku hidup dan jaya mereka menggantungkan hidup pada ayahku. Tapi setelah ayahku lumpuh apalagi kini telah tiada, mereka seperti kuda-kuda yg meninggalkan majikannya karena tak dapat lagi memberi mereka makan. Mereka mulai mandiri, menjadi tuan bagi diri mereka masing-masing. Ada suatu waktu dimana ibuku terus-menerus merutuki nasibnya dan mengocehi mereka -para kuda-kuda itu- satu-persatu. Hingga ia puas, dan akhirnya hanya bisa menangis.
Ketika aku berumur lebih kecil, aku akan sama halnya dengan ibuku. Menghujat para kuda-kuda itu, dalam hati. Tapi sama-sama menangis, dan merasa dada sesak serta tenggorokan meradang. Karena semua apa yg kami miliki dulu, tak bisa kami miliki lagi kini. Semakin besar umurku, aku baru menyadari bahwa apa yg kami lakukan adalah sia-sia belaka. Meski sampai darah keluar dari bola mata kami, ayah ku tetaplah tiada. Kuda-kuda itu tetap tak menoleh melihat ringkihan mantan tuannya.
Entah kenapa aku merasa aku telah dewasa saat aku tiba-tiba berkata
“sudahlah bu, jangan disebut-sebut lagi. Biarkan saja”.
Didepanku, ibuku hampir mengeluarkan semua ocehannya sampai dia mendengar akhir kalimatku, dan menimpali
“iyah, emang baiknya gitu. Jangan disebut-sebut lagi. Kamu harapan ibu. Kita gak usah pedulikan mereka”.
Aku merasa menang, akhirnya aku bisa bersikap selayaknya anak. Tapi disaat bersamaan aku merasakan pundakku semakin berat dengan beban-beban maya yang hanya aku dan ibuku yang bisa melihatnya.
No comments:
Post a Comment