Friday, September 2, 2011

Dialah...

Lebaran memang selalu menjadi momen kumpul keluarga. Setiap tahun, rutinitas lebaran akan kami lakukan, begitu. Selalu seperti itu. Dan aku, selalu menikmatinya. Bangun pagi, selarut apapun tidur. Shalat ied berdua dengan ibu dirumah. Sementara para pria pergi ke mesjid.

Aku merindukannya, suara tongkat itu, suara air hangat  yg mengucur kedalam ember saat ia whudu. Kaki kotornya, aku merindukan semuanya. Ia seperti manusia purba yang tak pernah memerlukan alas kaki untuk berjalan. Kemanapun. Kakinya selalu kotor. Dimanapun. Dan itu masalahnya, aku akan malas disuruh membawa teko berisi air hangat ke mesjid. Untuk membasuh kaki-kaki dengan kuku-kuku hitam dibawah tangga mesjid.

Kadang jika aku sedang merasa bersyukur. Aku akan mengaguminya. Sangat. Dengan cara berjalan, tatapan yg tak ingin diremehkan. Dan perintah sana-sani-nya seakan ingin menutupi rasa belas kasihan orang lain terhadapnya. Tapi itu jarang terjadi. Sayang sekali.

Menunggu, itu lah yang kami lakukan selepas shalat ied. Lalu berhambur kedepan rumah, saat para pria pulang dari mesjid. Aku akan menyalaminya, ia tersenyum tipis. Tapi aku melihatnya, melihat senyum itu. Ia memafkanku, aku tahu. Ia akan rewel minta ini itu, mengatur begini begitu.

Aku bisa melihatnya, meski ia tak pernah mengatakannya. Ia lelaki tua dengan kaki terpincang-pincang ketika berjalan, adalah sangat mencintai semua cucunya. Ia membelikan sepeda, baju, topi untuk cucu pertamanya, mengingat-ingat nama cucu keduanya Zerlinda Reri Fadilah,

“Ini untuk Zelin, jangan lupa buat Zelin”. Ia tanpa ragu, mengunjungi kakak perempuanku meminta air dingin, kadang minta dibuatkan kopi. Hanya untuk melihat cucu ketiganya berlarian kesana-kemari. Atau hanya menangis digendongan ibunya. Untuk yg keempat dan kelima, kasihan sekali kalian tak sempat mencicipi rasa cintanya. Lelaki itu, yang bahkan belum sempat menjadi wali bagiku.
Tahun ini, untuk kedua kalinya. Kami tak bisa menemukannya di rumah. Tak perlu menunggunya kembali dari mesjid. Tak perlu repot membawakan teko untuknnya, memayunginya saat hari berhujan. Dia tak ada disudut rumah bagian manapun. Tak ada dikamarnya, tak duduk bersila dengan kopi dan rokok di kursi favoritnya, tidak pula sedang menonton berita di TV sambil menelan obat-obat teman hidupnya. Ia benar-benar tak datang.

Kini kamilah yg harus mengunjunginya. Hanya berbaring disamping nenek. Ibunya. Mereka berdua tampak tenang tak bergeming. Disisi-Nya. Bersama doa-doa kami.  Amin.



P.S. dialah ayahku. Ayah nomor satu didunia ku.
Dialah ayah, pahlawanku.
Aku mencintaimu, Ayah. 

1 comment: