Sunday, August 14, 2011

Mantra Selamat Tinggal

Hari berhujan adalah hari yang selalu membuat otak bernostalgia. Aku selalu suka hujan. Meski mendung, tak peduli petir menyambar. Hari hujan selalu membuatku hangat walau dalam sepi. Hujan bagiku adalah keceriaan yang terpendam, jika melihat jalanan komplek rumahku sepi dari anak-anak yang merayakan turunnya air dari langit karena tak menemukan kunci pintu rumah yang disembunyikan orang tuanya. Hujan adalah salah satu bahasa cinta Tuhan kepada makhluk Nya. Dan kali ini, hujan membuatku mengenang sesuatu yang tak lagi buatku meneteskan air mata.

Hanya dia,sesuatu yang terus menghantui malam saat akan pejamkan mata. Terus membuat nafas sesak saat kabar tentangnya mendentang ditelinga. Tatapan kosong seperti mayat hidup. Senyawa elektrik dalam tubuh menghentak tanpa arah saling bertaut membuat kejang, hanya saat itu. Saat aku kehilangan dia. Dia yang aku jatuhi cinta untuk pertama kali.
                Yah, cinta pertama. Saat aku menyadari perasaanku ini, ternyata ia telah pergi. Dulu, semua adegan menangis meraung karena ditinggal pergi kekasih dalam drama adalah hal tak masuk akal bagiku. Tapi kini, setelah aku merasakannya semua menjadi sangat logis.
                Aku masih sangat ingat hari itu... dimana semua harapan masih ku peluk erat.

“Kita masih bisa mulai lagi kan? Kasih aku kesempatan buat perbaiki semuanya” penuh harap aku menatapnya.
“Lyv,,, kita udah musti jalan masing-masing sekarang. Kita udah selesai. Suatu hari kamu pasti bakal dapet seseorang yang lebih baik dari aku. Begitupun aku akan menemukan seseorang yang lain” jawabnya tenang. Seakan hal ini biasa terjadi.
                Dan dia meninggalkanku tanpa ada ungkapan “Love You” dengan nada childish nya. Hanya membalikan badan, dan berlalu begitu saja.  ditengah hujan.
~*~

Diluar masih hujan. Dia menghentikan langkahku saat keluar kelas.
“Mau kemana sih buru-buru amat?”
“Hmm...” aku bingung mau jawab apa.
“Sombong banget sih sekarang?” dia bertanya tanpa beban. Tanpa tahu sudah berapa banyak tangisan yang ku keluarkan hanya karena teringat masa bersamanya. Karena setelah kata ‘selesai’ yang diucapkannya waktu itu. Aku terus menghindarinya.             
“Ngobrol dulu yuk? Kan udah lama gak ngobrol”.
Sadar ataupun tidak, tiba-tiba kita terjebak hujan dan sama-sama berteduh dipinggir kelas. Itu adalah kali pertama setelah sekian lama kami berpisah.
“Gimana cowok baru kamu, Danu?” tiba-tiba pertanyaan yang tak terduga keluar dari mulutnya. Ternyata dia tahu aku sudah menjalin hubungan baru setelah satu tahun lebih sendiri.Dan aku jawab tanpa basa-basi.
“Aku sering nangis gara-gara dia”
“Kenapa?” ekspresinya kaget.
“Saking keselnya”. Pacar kedua ku ini memang sering bikin aku uring-uringan. Sampai sering kali terbesit untuk putus.
“Kasian” timpalnya pendek.
“Siapanya?” aku harap dia kasian sama aku karena dapet cowok yang gak sesuai dengan harepanku. Tapi,
“Dianya lah! ditangisin sama cewek gara-gara kesel. Bukan gara-gara cinta”
                Hujan mulai reda, tapi rasanya petir muncul tiba-tiba. Baru sadar kalau selama ini aku menjalin hubungan tanpa cinta. Teman-teman kampusku mulai pergi satu persatu.
“Olyv, Galah! Duluan yah...” teriak Desti teman dekat ku sambil senyum-senyum melihat kami kembali sedekat ini.
Kami juga ikut senyum.
                Hanya tinggal kami berdua yang tersisa disana. Hujan berhenti. Seminggu setelah obrolan sore itu bersama Galah. Aku mengambil keputusan untuk kembali sendiri.
~*~

“Ada yang mau balikan nih” Desti tiba-tiba duduk dibangku sebelahku. Pertanyaannya terbawa hujan lebat.
“Yah?” aku mengeraskan suara.
“Kita pindah aja yuk” Desti menarik tanganku. Membawa kami pindah dari bangku pinggir lapang basket.
                Ini akhir bulan Mei tapi hujan terus mengguyur hampir setiap hari. Karena aku suka hujan, Desti selalu tahu dimana bisa menemukanku ditengah hujan jika sedang berada di kampus. Pinggir lapang basket adalah tempat yang paling indah untuk hanya memandangi hujan yang jatuh tergesa-gesa hari itu.
“Kamu yakin mau balik lagi sama Galah?”
Akhirnya aku bisa mendengar pertanyaannya setelah kami tiba diperpustakaan. Disini tentu jauh lebih tenang.
“Gak lah” jawabku dengan senyum.
“Kenapa? Kalian kan sekarang sama-sama jomblo.” Desti nanya sekenanya sambil buka-buka lembaran buku yang tidak dibacanya.
                Aku cuma bisa narik napas. Melihat lirikan mata Desti yang kurang puas, terpaksa aku buka mulut.
“Setelah hampir dua tahun... aku bertanya-tanya tentang mengapa setelah kata “selesai” muncul, semua harus berakhir? Dengan titik, gambar buram, sketsa kosong, rentetan nama-nama, tangisan bahkan senyuman atau tepuk tangan. Akhirnya, sekarang aku tahu jawabannya Des”.
“Maksud kamu Lyv?” Desti terlihat bingung.
Aku tersenyum melirik tetesan air hujan di kaca. Lalu melanjutkan.
“Dulu, aku terus ngarepin Galah. Kemaren pun aku berharap Danu pertahanin aku waktu aku minta putus.” Tanpa melirik Desti, aku melanjutkan. “Tapi sekarang aku ngerti. Aku harus move on. Gak bisa gantungin kebahagiaan aku sama mereka”.
                Entah apa yang Desti pikirkan. Dia hanya diam tanpa bertanya apapun lagi.
~*~

                Hari itu langit cerah tanpa awan. Hanya biru yang terbentang, rasanya benar-benar bebas. Tak ada lagi penyesalan untuk cinta pertama ku. Hatiku benar-benar cerah dan terang seperti langit diatas sana. Bahkan sama sekali tak bergetar saat melihat Desti bergandengan tangan dengan Galah. Saat itu juga aku mulai membisikan mantra penenang yang kubuat sendiri. Untuk dapat bangkit dari rasa sakit setelah putus.
               
“Karena jika setelah titik masih ada kata, sebuah novel tak akan pernah rampung. Banyak penulis hebat yang akhirnya gila.
Karena jika setelah tamat masih ada episode baru, banyak sinetron yang ngalor-ngidul tanpa isi.
Karena jika setelah finish masih ada lap berikutnya, semua pembalap akan berakhir di rumah sakit.
Karena setelah kata selesai masih ada kata berikutnya... kita gak akan bisa belajar dari pengalaman.
Kata butuh spasi, benda butuh ruang.  Dan aku butuh kamu, orang yang tepat yang datang disaat tepat”


No comments:

Post a Comment